Selasa, 30 November 2010

STRATIFIKASI DAN AGAMA

STRATIFIKASI DAN AGAMA


A. Stratifikasi Unsur, Sifat dan Perspektif
 
Jika kita pernah membayangkan tentang orang-orang yang sanggup membei rumah mewah tentu adalah mereka yang kaya dengan gaji jutaan atau bahkan puuhan juta perbulan, sedangkan jika kita meihat rumah di pemukiman-pemukiman kumuh atau disamping Rel-rel kereta api pasti pikiran kita tertuju pada pekerjaan yang serabutan atau apa adanya bahkan mungkin kita menganggap mereka tidak memiliki pekerjaan satu apapun. Dari pengamatan singkat seperti itu disadari atau tidak kita mulai menggolongkan mana orang itu yang kaya dan mempunyai rumah mewah dan mana itu orang yang miskin yang mempunyai rumah kumuh, dan ketika kita membedakan antara orang satu dengan orang yang lainnya maka kita teah melakukan suatu pengorganisasian kemampuan dimana ada orang dengan kemampuan yang tinggi dan orang yang berkemampuan rendah. Hal inilah yang dinamakan stratifikasi social dimana masyarakat memberikan lapisan, tingkatan atau kelas secara vertical terhadap orang-orang yang ada di sekitar mereka. Bahkan kita juga teah menyadari bahwa perbedaan yang ada daam masyarakat tidak cuma dalam hal yang berbentuk materi saja melainkan juga perbedaan dalam aspek-aspek yang lain, seperti perbedaan dalam hal pemilikan kekuasaan, status atau kehormatan. Pendek kata sepanjang dalam masyarakat itu terdapat sesuatu yang langkah dan diperebutkan, maka sepanjang itu pula akan muncul stratifikasi social.
 Menurut Soerjono Soekanto di dalam setiap masyarakat dimanapun selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai di masyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat, diberbagai masyarakat sesuatu yang dihargai tidakah sama. Sebagian pakar meyakini bahwa pelapisan masyarakat sesungguhnya mulai ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama, dalam masyarakat yang masih sederhana lapisan-lapisan masyarakat pada awalnya didasarkan pada perbedaan seks, umur atau bahkan kekuasaan. Pitirim A. Sorokin mengemukakan stratifikasi social adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis, perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas rendah, selanjutnya disebutkan bahwa dasar dan inti dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai social dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
 Stratifikasi social juga lebih berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok-kelompok bertingkat dalam suatu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya mempunyai kekuasaan, hak-hak istimewa yang tidak sama dengan kelompok yang lainnya, secara rinci ada tiga aspek yang merupakan karakteristik strifikasi social yaitu:
1. Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan.
Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan dengan anggota masyarakat yang dibawahnya.
2. Perbedaan dalam gaya hidup.
Cara berpakaian seorang direktur atau presiden akan sangat berbeda dengan gaya berpakaian para tukang becak atau pembantu rumah tangga, hal ini bukan semata-mata untuk penampilan saja, tetapi lebih mengarah pada tuntutan pekerjaan, coba kita bayangkan apa yang terjadi andai saja seorang direktur ataupun presiden tidak berpakaian rapi selayaknya biasanya, pasti pamor mereka akan turun sebagai golongan strata tinggi.
3. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya.
Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya, hal ini akan mempermudah mereka memenuhi segala apa yang mereka butuhkan, yang tentu saja hal ini tidak dapat dinikmati oleh pegawainya.
 Dalam teori sosiologi, unsur-unsur system pelapisan social dalam masyrakat adalah kedudukan dan peran, dimana disamping unsure pokok dalam system stratifikasi social, juga mempunyai arti yang sangat penting bagi system social masyrakat. Status menunjukkan tempat atau posisi orang dalam masyarakat, sedangkan peranan menunjukkan aspekn dinamis dari status, yaitu merupakan tingkah laku yang diharapkan dari seseorang individu yang menduduki status tertentu. Dan untuk penjelasan lebih lanjut berikut merupakan pengertian secara konkrit dari Kedudukan dan peran.
1. Kedudukan (status)
Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok social, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi. Oleh karena kedudukan sering diartikan sebagai tempat seseorang dalam suatu pola atau kelompok social, maka seseorang dapat pula mempunyai beberapa kedudukan sekaligus. Hal ini disebabkan seseorang biasanya ikut dalam beberapa pola kehidupan atau menjadi anggota dalam beberapa kelompok social.untuk mengatur status seseorang menurut Pitirim Sorokin secara rinci dapat dilihat dari:
a. Jabatan dan pekerjaannya.
b. pendidikan dan luasnya ilmu pengetahuan
c. kekayaan
d. politis
e. keturunan
f. agama
kedudukan apabila dipisahkan dari individu yang memilikinya hanyalah merupakan kumpulan hak dan kewajiban. Namun, karena hak dan kewajiban itu hanya dapat terlaksana melalui perantara individu maka sulit untuk memisahkannya secara tegas dan kaku. Dalam masyarakat sering kali kedudukan dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a. Ascribed Status, status ini diartikan sebagai kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan seseorang. Kebanyakan ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan system pelapisan social yang tertutup, seperti system pelapisan berdasarkan perbedaan rasa tau agama.
b. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oeh seseorang dengan usaha-usaha yang sengaja dilakukan, dan bukan diperoleh karena kelahiran. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan dari masing-masing orang dalam mengejar dan mencapai tujuan-tujuannya.
c. Assigned status, yaitu kedudukan yang diberikan, assigned status sangat erat hubungannya dengan achieved status, artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang karena telah berjasa kepada masyarakat.
2. Peran (Role)
Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan, artinya, seseorang telah menjaankan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukanny, maka orang tersebut telah melaksanakan suatu peran. Keduanya tak dapat dipisahkan karena satu dengan yang lainnya saling tergantung. Sebagaimana kedudukan, maka setiap orang pun dapat mempunyai macam-macan peran yang berasal dari pola pergaulan hidupnya. Hal tersebut berarti pula bahwa peran tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan masyarakat kepadanya. Peran sangat penting karena dapat mengatur perikelakuan seseorang, disamping itu peran menyebabkan seseorang dapat meramalkan perbuatan orang lain pada batas-batas tertentu, sehingga seseorang dapat menyesuaikan perilakunya sendiri dengan perilakuorang-orang sekelompoknya.
Peran yang melekat pada diri seseorang, harus dibedakan dengan posisi atau tempatnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu dalam organisasi masyarakat. Sedangkan peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, artinya seseorang menduduki suatu posisi tertentu dalam masyarakat dan menjalankan suatu peran. Suatu peran paling sedikit mencakup 3 hal yaitu:
1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
2. Peran adalah suatu konsep ikhwal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat
3. Peran dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur social masyarakat.
 Peranan dapat membimbing seseorang dalam berprilaku, karena fungsi peran sendiri adalah sebagai berikut:
1. Memberi arah pada proses sosialisasi
2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai dan norma dan pengetahuan
3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat
4. Menghidupkan system pengendali dan control, sehingga dapat melestarikan kehidupan masyarakat.
Tetapi apakah pernah terpikir dibenak kita bagaimana suatu stratifikasi itu muncul?, terjadinya stratifikasi social atau system pelapisan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu system stratifikasi yang terjadi dengan sendirinya artinya tanpa disengaja, dan system pelapisan yang terjadi karena dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Lapisan-lapisan dalam masyrakat yang terjadi dengan sendirinya atau tidak disengaja misalnya lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin, kepandaian, sifat keaslian keanggotaan kerabat kepala masyarakat, mungkin dalam batas-batas tertentu berdasarkan harta.
Sedangkan system pelapisan dalam masyarakat yang disengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal dan sebagainya, namun demikian, apabila suatu masyarakat hendak hidup teratur dan keutuhan masyarakat tetap terjaga maka kekuasaan dan wewenang harus pula dibagi-bagi secara teratur, sehingga setiap orang akan jelas dimana kekuasaan dan wewenangnya dalam organisasi, baik secara horizontal maupun secara vertical.
B. Agama dalam Kajian Sosiologis
 Dalam kajian sosiologis agama diartikan sebagai gejala social yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan social dan bagian dari system social suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat disamping unsur-unsur lainnya. Meskipun agama berkaitan dengan berbagai kewajiban, ketundukan, dan kepatuhan, tetapi tidak setiap ketaatan itu bisa disebut agama, bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan. Ketaatan dan kepatuhan pihak yang kalah perang kepada pihak yang menang perang, ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya tidak bisa disebut agama dalam kacamata keilmuan. Berdasarkan hasil studi para ahli sosisologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua factor yang ikut membentuk struktur social di masyarakat mana pun.
 Berikut merupakan pendapat para tokoh mengenai agama yang otomatis apa yang mereka katakan tidak terlepas pada keyakinan mereka mengenai agamanya masing-masing:
1. Max Weber, dia lebih menekankan mengenai lembaga social yang ada di agama itu sendiri, disini menurutnya terjadi kerjasama secara timbale balik diantara semua lembaga social, dan dalam kerjasama menunjukkan tentang betapa pentingnya lembaga agama dan pengaruhnya atas semua lembaga social lainnya.
2. Cicero (abad 15 SM) dia adalah seorang pembuat hukum romawi, menurutnya agama adalah anutan yang dihubungkan antara manusia dengan tuhan
3. Emmanuel Kant, dalam bukunya yang berjudul agama dalam batas-batas akal mengatakan bahwa agama adalah perasaan berkewajiban melaksanakan perintah-perintah tuhan.
4. Herbert Spencer, berpendapat bahwa factor utama dalam agama adalah iman akan adanya kekuasaan yang tak terbatas, atau kekuasaan yang tidak bisa digambarkan batas waktu dan tempatnya.
Dari uraian tentang definisi agama di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ilmuan membatasi pengertian agama dalam bentuk yang hanya bisa diterapkan pada agama-agama yang berdasarkan wahyu dari langit, yaitu agama-agama tauhid yang didasarkan pada keyakinan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. 

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM AGAMA
 Hubungan antara tingkat keberagamaan dan kedudukan dalam masyarakat dan struktur social, dan antara sifat keyakinan keagamaan dan kedudukan kelas social, telah dibicarakan secara intensif dan diperdalam selama ratusan tahun. Agama dan pelapisan social merupakan dua hal yang berbeda, walaupun demikian, membicarakan keduanya dalam satu bahasan atau topic tetap akan mempunyai aspek-aspek positif dalam kajian akademis. Demokrasi sepertinya menjadi cita-cita seluruh bangsa. Ada beberapa elemen yang menentukan suasana demokrasi yaitu antara lain budaya yang di dalamnya termasuk agama, penilaian atas agama dalam kaitannya dengan proses demokrasi, mesti dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi salah menyimpulkan, demikian juga dengan kelas social, apakah agama bisa menjadi factor penentu dalam bentuk kelas social dalam tatanan masyarakat yang mana sangat dipengaruhi oleh interpretasi manusia atas agama, memang kita tidak bisa memungkiri bahwa sekat-sekat social kerapkali menimbulkan masalah social.
 Dan berikut merupakan penggambaran stratifikasi soisial dalam agama:
1. Zaman Kegelapan, Filsafat Abad Pertengahan.
 Zaman ini merupakan zaman paling buruk dalam sejarah filsafat, dimana kekuasaan gereja sangat besar bahkan melebihi kekuasaan raja atau pemimpin Negara pada saat itu, pada essensinya sejak masa dulu gereja memang tidak pernah ditempatkan dalam sebuah struktur social, dikarenakan karena gereja yaitu bentuk manifestasi dari agama Kristen protestan atau katolik yang menurut mereka tidak bisa dimasukkan pada struktur social dalam masyarakat karena focusnya yaitu dalam ranah hubungan manusia dengan tuhan, tetapi apakah dengan tidak masuk ke dalam struktur social mereka ini posisi mereka menjadi tidak penting?, justru posisi gereja pada hakekatnya berada tepat dibawah kekuasaan kerajaan karena kebanyakan para pastur merupakan penasehat kerajaan.
 Tetapi yang terjadi pada zaman ini justru sebaliknya, gereja memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan segala apapun, siapapun, dan kapanpun itu, dengan menggunakan kekuatan tuhan sebagai pelaksana kekuasaan mereka, apapun yang dikeluarkan gereja pada saat itu tidak boleh dilanggar oleh satu orang pun karena itu adalah perintah dari tuhannya, begitu pula dengan filsafat dan pengetahuan, apa yang dikatakan oleh pihak gereja merupaka suatu kebenaran yang mutlak dan tidak boleh ditentang, posisi pastur pada saat itu tertinggi dalam struktur vertical lapisan masyarakat.
 Pada akhirnya semua warga tunduk sampai pada suatu kasus dimana ada yang menentang kebijakan gereja ini, yaitu penentuan bahwa Bumi yang mengitari matahari atau Matahari yang mengitari bumi, pada saat itu dari pihak gereja mengeluarkan ajaran bahwa Matahari mengitari bumi dengan Surga dan neraka yang berada diatas dan dibawahnya, karena yang menjadi acuan mereka yaitu hanya dengan melihat perputaran matahari dari pagi yang muncul di timur dan tenggelam di barat pada sore harinya.
 Tetapi pendapat ini ditentang oleh seorang pemikir besar yang bernama Galileo, menurutnya Bumilah yang mengitari Matahari, toh pada essensinya itu merupakan suatu kebenaran tetapi pihak gereja tidak dapayt menerima itu, dia dihukum dibakar hidup-hidup karena telah menentang gereja, hal inilah yang menyebabkan kemandegan dari para pemikir barat pada saat itu karena kekuasaan gereja yang begitu besar, dan bukan lain hal ini disebabkan semata-mata ketika suatu golongan memiliki hak yang istimewa yang tidak di dapatkan orang lain pada umumnya maka dia bisa bertindak apapun yang diingnkannya.
2. System Kasta Pada Agama Hindu
 Seperti yang kita ketahui bersama bahwa system ini yang paling terkenal dan paling kaku sehingga jika seseorang itu sudah berada pada kasta bawah sangat sulit sekali atau bahkan tidak mungkin baginya untuk naik kasta, asal mula kasta di agama hindu ini bermula di india sebagai hasil pertemuan bangsa Arya dengan bangsa Turan dan Bumiputera, “bangsa Arya adalah suatu bangsa yang mempunyai kecerdasan dan gerak laku hidup atas penduduk asli, mereka benar-benar percaya terhadap ketinggian bangsa mereka di atas bangsa-bangsa yang lainnya, kata “Arya” yang dinamakan kepada mereka itu berarti orang bangsawan.”
  Menurut Prof. Atreya mahaguru universitas Benares di India yang berpendapat bahwa orang-orang hindu mengatur kehidupan social mereka dengan berdasarkan kasta-kasta yang mereka namakan Chatur Varn, peraturan ini puladapat ditegakkan atas asas pemilihan kerja dan tidak ada hubungan dengan asas-asas bangsa yang sangat dibenci dan dialami oleh negeri India yang lahir dari pemerintahan asing yang menetap beberapa abad, tujuan peraturan kasta tidaklah semata-mata untuk memecahbelah masyarakat, tetapi justru menyatukannya atas asas pembagian kerja, karena dalam kalangan manusia ada sebagian yang gemar akan ilmu pengetahuan lalu mereka dibiarkan dengan ilmu pengetahuannya dan terus membentuk golongan Brahmana, bagian yang kedua kegemarannya adalah pemerintahan, kekuasaan dan peperangan mereka inilah yang membentuk golongan ksatria, golongan ketiga yaitu golongan yang gemar akan harta benda, kemudian membentuk golongan pedagang dan petani atau yang disebut dengan Waisya, bagian tidak layak apa-apa kecuali melakukan pekerjaan hina dan semata-mata menjadi budak dari mereka ini terbentuk golongan Sudra.
 Wells menyebut Kasta-Kasta ini dengan berkata “setelah kedatangan bangsa Arya mesyarakat hindu telah terbagi kedalam kasta-kasta yang satu sama lain tidak saling mewakili, tidak berkeberatan, dan tidak bergaul dengan bebas. Kemudia pembagian kasta ini berjalan terus sepanjang sejarah”. Weech juga menyebutkan bahwa peraturan kasta-kasta mulai ada dan lahir ketika awal pencampuran yang membuka jalan bagi pembentukan suatu masyarakat yang dipadukan dari unsure-unsur yang berlainan ini. Jadi peraturan kasta-kasta adalah suatu jalan untuk memelihara kemurnian darah bangsawan yang dikhawatirkan bercampur dengan jenis-jenis bangsa yang lainnya. 
 Menurut beberapa pemikir yang berpendapat bahwa kasta-kasta ini dijadikan oeh tuhan sedemikian rupa maka jadiah pembagian ini kekal abadi dikarenakan ini semua merupakan perbuatan tuhan dan tidak ada jalan untuk menghapuskannya. Dengan latar belakang ini seseorang tidak boleh naik dari suatu kasta ke kasta lain yang lebih tinggi. Dan berikut penjelasan dari golongan kasta-kasta tersebut,
a. Golongan Brahmana
Golongan ini berkewajiban mempelajari kitab-kitab weda dan mengajarkannya pada kaumnya, juga memberkati pemberian-pemberian korban yang hanya diterima melalui mereka dan wajiblah seorang brahmana memelihara undang-undang umum dan agama. Apabila seorang brahmana lahir dia diletakkan dibarisan yang pertama sekali dalam barisan-barisan keduniaan, seorang brahmana menerima penghormatan dari semua tuhan adalah karena keturunannya. Hokum-hukumnya menjadi landasan hokum di aam ini dan kitab suci itulah yang memberinya keistimewaan ini, semua yang ada di ala mini adalah milik brahmana, karena seorang brahmana berhak atas segalan apa yang terwujud. Seorang brahmana apabila berkehendak, dia berhak memiliki harta benda sudra yang menjadi hamba kepadanya dengan tidak dihukum oleh raja karena perbuatannya itu, hamba dan segala miliknya adalah kepunyaan tuannya. Seorang brahmana tidak dikotori oleh dosa sekalipun dia membunuh tiga golongan itu, raja tidak boleh mengenakan pajak atas seorang brahmana yang sedang mempelajari kitab suci, raja janganlah membunuh seorang brahmana sekaipun dia melakukan berbagai kesalahan besar dia hanya boleh diusir dari kerajannya.
b. Golongan Ksatria
Orang-orang yang telah memperkaya akal pikirannya dengan kitab-kitab Weda dan sebagainya, mereka dari golongan inilah yang layak menjadi pemimpin-pemimpin tentara, atau raja-raja atau hakim-hakim bagi sekalian manusia. Raja diangkat dari golongan ksatria, Raja janganlah direndahkan sekalipun dia masih kecil, seorang ksatria tidak boleh terlepas dari tugas ketentaraan. Seorang ksatria hidup sebagai seorang prajurit meskipun dimasa damai, raja harus selau menyediakan perlengkapan perang mereka, dan mereka harus selalu siap berperng bilsa sewaktu-waktu dipanggil raja
c. Golongan waisya
Seorang waisya haruslah kawin dengan perempuan dari golongannya juga, haruslah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pekerjaannya, dan senantiasa memelihara binatang ternak, seorang waisya hendaklah mengetahui betul-betul metode dalam pertanian, dari penanaman sampai penjualannya.
d. Golongan Sudra
Seorang Sudra sedapat-dapatnya haruslah mematuhi perintah golongan Brahmana yang menjadi pemuka yang arif akan kitab-kitab suci dan terkenal dengan sifat-sifat yang mulia. Dengan kepatuhan ini diharapkan ia diberi kebahagiaan sesudah matinya dengan suatu penghidupan baru yang lebih tinggi lagi. Tidak patut seorang sudra mengumpulkan harta yang berlebihan sekalipun mereka mampu melakukan hal demikian, seorang sudra seandainya mengumpulkan harta maka ia telah menyakiti golongan brahmana karena tindakannya itu kotor, anak golongan rendah yang berniat untuk menyamakan diri dengan golongan yang lebih tinggi dari golongannya haruslah ditolak dan diberi tanda dibawah pangkal pahanya, tangannya hendaklah dipotong sekiranya dia mengangkat tangan atau tongkatnya ke atas orang yang ebih tinggi dari padanya, dan dipotong kakinya sekiranya dia menendang dengan kakinya itu, seandainya dia memanggil dengan menggunakan nama atau nama golongannya dengan tidak memperlihatkan rasa hormat maka dimasukkan kedalam mulutnya sebilah pisau panas bermata tiga yang panjangnya sepuluh inci, dan raja juga memerintahkan supaya dituangkan minyak panas kedalam mulut dan telinganya apabila menurut pendapat golongan brahmana dia tidak lagi melaksanakan pekerjaan untuk mereka dengan baik.

3. Stratifikasi social dalam islam
 Apakah ada? Islam pada zaman Nabi masih menggunakan perbudakan dalam hal mengerjakan pekerjaan yang kasar dan berat, tetapi system kerjanya tidak seperti yang ditampakkan pada kasta Sudra yang ada di agama Hindu, budak-budak yang ada di islam pun bisa di bebaskan dan dapat hidup normal pada sedia kala, budak-budak ini pada umumnya didapatkan pada saat berperang dan tentara lawan yang kalah dalam peperangan pada umumnya dijadikan sebagai budak, terus pertanyaannya apakah di agama islam da yang dinamakan dengan stratifikasi sosiak?, jawabanya sangat singkat dan paten Allah SWT berfirman “bahwa setiap manusia dihadapanKU sama dan yang membedakannya adalah kadar ketaqwaannya saja”dalam ha beribadahpun islam tidak pernah membedakan antara si kaya dan si miskin, si Tua dan si Muda dan lain sebagainya, itu yang ada di dalam agama islam, tetapi didalam masyarakat islam stratifikasi social tetap ada demi keteraturan suatu wilayah tersebut untuk pembagian kerja menurut proporsi mereka masing-masing.
 Banyak lagi contoh-contoh kasus yang semisal di atas tetapi pada essensinya tetap sama agama sekalipun tidak pernah membeda-bedakan umatnya yang menjadikan system itu adalah manusia-manusia itu sendiri yang membawa kekuatan agama yang diyakini masyarakat secara eksklusif untuk melancarkan kepentingan segolongan orang untuk mempunyai kekuasaan dan wewenang serta hak istimewa yang tidak dimiliki oeh masyarakat yang lainnya.

ANALISIS DATA

 Pada hakekatnya pelapisan social dalam masyarakat sangat penting adanya untuk pembagian kerja yang sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing, tetapi akan menjadi sangat tidak stabil jika hal ini digunakan untuk meraup keuntungan dan kekuasaan sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri, inilah yang sering kali terjadi dan menimbulkan konflik di dalam masyarakat ketika dianggap pelapisan social yang terjadi di monopoli sedemikian hingga sampai merampas hak-hak yang ada di dalam masyarakat, tetapi apa yang terjadi jika pelapisan itu juga dengan menggunakan kekuatan tuhan, ternyata hal ini sangat berhasil, dimana agama sebagai sesuatu yang harus diyakini dan diamalkan tanpa ada pertanyaan kenapa, sehingga mereka yang mengatasnamakan diri mereka wakil tuha di dunia atau orang paling suci dengan menggunakan kekuatan tuhan dia mengendalikan masyarakat dibawah kekuasannya.
 Dalam teori stratifikasi konfliknya Randall Collins sangat tidak setuju dengan para penguasa yang menggunakan kekuatannya untuk keuntungan pribadinya yang mana seharusnya itu untuk kemasahatan masyarakat, kekuasaan yang begitu besar menempatkan seseorang sebagai raja di muka bumi ini, padahal pada essensinya seperti yang kita kethui bersama kita sama-sama sebagai manusia yang dikatakan makhuk yang paling sempurna dan oleh karena itu pula kita memiliki kekurangan dan kelebihan di dalam diri kita masing-masing tidak menutup kemungkinan dia seorang raja atau seorang pengemis.
 Dilanjutkan dengan teori Otoritas milik Ralph Dahrendorf, dimana menurutnya otoritas merupakan sumber konflik dan perpecahan yang ada di dalam masyarkat, jika kekuasaan itu tidak pada tangan yang tepat, eksistensi seorang pemimpin yang memerintah dan seorang hamba yang diperintahnya akan menimbulkan suatu perasaan ketidakadilan dan kecemburuan social di hadapan mereka.



PENUTUP


 Kesimpulan: Jadi pada akhir pembahasan kita sebenarnya tidak ada yang dinamakan pelapisan social yang ada dalam agama manusialah sendirilah yang membuatnya dengan menggunakan kekuatan Tuhan untuk menundukkan masyarakat yang meyakini agamanya secara kuat di dalam hatinya.

Tidak ada komentar: